
Metropolis (1927)
Apakah Anda termasuk penikmat film-film fiksi ilmiah? Di film-film fiksi ilmiah sering dikisahkan tentang masa depan umat manusia yang terancam oleh keberadaan robot. Robot-robot tersebut sejatinya diciptakan untuk membantu manusia melakukan pekerjaan sehari-hari. Namun, pada suatu ketika, robot-robot tersebut menjadi tidak terkendali dan justru menganggap manusia sebagai ancaman. Alhasil, perang antara manusia dan robot-robot pun tidak terelakkan.
Film-film fiksi ilmiah tersebut menggambarkan kondisi masa depan distopian di mana masa depan justru menjadi neraka dunia bagi manusia. Tatanan hidup berantakan diterjang zaman. Teknologi berubah menjadi sesuatu yang destruktif dan membuat manusia kehilangan sisi kemanusiaannya. Umat manusia terasing dari dunia yang seharusnya mereka nikmati dan kuasai. Meskipun menjadi korban yang paling menderita dari situasi seperti ini, manusia tetaplah merupakan aktor yang paling layak dipersalahkan dari keadaan ini.
Sepak bola adalah salah satu produk peradaban terbaik yang pernah diciptakan. Permainan sederhana antara 11 lawan 11 ini menjadi salah satu permainan yang pengaruhnya sanggup menggurita ke berbagai aspek kehidupan lain. Sebut saja politik, ekonomi, tatanan sosial, subkultur, sampai kini teknologi. Masifnya jumlah manusia yang terlibat di dalamnya (mulai dari pemain sampai fans dan dari direktur sampai tukang parkir stadion) membuat olah raga ini seperti menjadi sebuah kanvas maha besar yang sanggup menampung berbagai lukisan karya manusia dari berbagai bidang. Semua tersedia di sini.
Evolusi teknologi dalam sepak bola merupakan salah satu evolusi yang paling terasa efeknya. Evolusi teknologi juga berpengaruh besar terhadap aspek-aspek lain yang bersentuhan dengan sepak bola. Kita lihat bagaimana perkembangan bola, sepatu, kostum, sampai papan skor menunjukkan bagaimana perkembangan yang dialami oleh umat manusia secara umum. Dengan adanya perkembangan ini, terlihat pula perkembangan yang terjadi di aspek-aspek lain. Teknologi adalah simbol perkembangan manusia. Teknologi menunjukkan bahwa manusia selalu belajar, berproses, dan berubah. Hal ini berlangsung sejalan dengan apa yang terjadi di bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, teknologi terus berkembang untuk memudahkan kehidupan manusia. Manusia secara kodrati merupakan sarang bagi dua momok: salah dan lupa. Manusia menggunakan produk-produk perkembangan teknologi untuk meminimalisasi kesalahan serta melakukan hal-hal yang sebelumnya mungkin hanya bisa dibayangkan. Tujuan awalnya positif, tentu saja, tetapi ada beberapa hal yang harus ditempatkan sesuai dengan porsinya. Manusia membutuhkan teknologi di hal-hal yang memang tidak bisa dilakukan dengan kemampuan standar manusia. Untuk apa kita mengendarai sepeda motor untuk membeli gula di warung yang jaraknya hanya 50 meter dari rumah?
Perkembangan teknologi di sepak bola juga digunakan untuk membuat permainan sepak bola menjadi lebih nyaman dilakukan. Bola dan sepatu zaman sekarang dibuat seringan dan senyaman mungkin sehingga para pemain dapat melakukan aksi di lapangan hijau dengan lebih mudah. Kostum para pemain juga dibuat sedemikian rupa untuk memaksimalkan performa para pemain di lapangan. Belum lagi penggunaan teknologi komputer untuk analisis performa pemain dan sebagainya. Terdengar menyenangkan ketika mendengar teknologi digunakan di tempat yang semestinya.
Namun ketika wacana teknologi garis gawang dikedepankan, kontroversi mengemuka. Penggunaan teknologi garis gawang dimaksudkan untuk meminimalisasi kesalahan perangkat pertandingan (baca: wasit dan asisten wasit) dalam mengesahkan gol sebuah tim ketika bola hanya memasuki sebagian kecil dari gawang. Banyaknya kasus gol yang disahkan atau dianulir lantaran pandangan perangkat pertandingan ke bola yang masuk ke gawang terhalang oleh berbagai hal menjadi alasan utama mengapa wacana penggunaan teknologi garis gawang ini dikemukakan.
Gol Sir Geoffrey Hurst di Final Piala Dunia 1966, tendangan Pedro Mendes ke gawang Roy Carroll tahun 2005, gol Frank Lampard yang dianulir di Piala Dunia 2010, gol Sulley Muntari yang juga dianulir di pertandingan kontra Juventus musim lalu, sampai yang teranyar, dianulirnya gol Ukraina di Piala Eropa 2012 melawan Inggris adalah beberapa contoh alasan mengapa wacana teknologi garis gawang mengemuka.
Sepertinya memang perlu, tetapi apakah teknologi ini benar-benar diperlukan? Apakah tidak ada cara lain yang dapat digunakan untuk meminimalisasi tingkat kesalahan perangkat pertandingan? Tentu ada. Mulai musim 2009-10 di Liga Europa, UEFA mencoba untuk menempatkan dua asisten wasit tambahan yang ditempatkan di samping gawang. Percobaan ini cukup sukses karena di musim berikutnya, kompetisi Liga Champions mengikuti jejak adiknya tersebut. Kemudian, di Piala Eropa 2012, penggunaan dua asisten wasit tambahan ini juga akhirnya digunakan.
Akan tetapi, penggunaan dua asisten wasit tambahan ini ternyata belum menyelesaikan persoalan. Gol Ukraina yang dianulir wasit Viktor Kassai asal Hungaria menjadi bukti nyata bahwa penempatan dua asisten wasit tambahan di samping gawang ternyata masih memiliki celah kesalahan. Ketika itu tendangan melambung Marko Devic ke gawang Joe Hart mampu disapu John Terry setelah bola terlebih dahulu melewati garis gawang secara utuh. Presiden FIFA, Sepp Blatter langsung bereaksi setelah menyaksikan peristiwa tersebut. Blatter menyebutkan bahwa penggunakan teknologi garis gawang sudah tidak terelakkan lagi.
Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita berbicara soal teknologi garis gawang. Konsep teknologi garis gawang sebetulnya sederhana. Beberapa perangkat elektronik berukuran kecil ditempatkan di gawang dan bola untuk menginformasikan kepada wasit bahwa bola telah melewati garis gawang secara penuh. Teknologi macam ini sudah digunakan di beberapa olahraga lain seperti tenis, kriket, dan biliard. Ada beberapa macam teknologi garis gawang yang sudah diuji oleh IFAB (International Football Association Board) namun pada 5 Juli 2012, hanya ada dua jenis teknologi yang disetujui untuk digunakan di sepak bola, yakni GoalRef dan Hawk-Eye. Teknologi ini akan digunakan secara resmi di Piala Dunia 2014 nanti.
Perbedaan mendasar di antara dua teknologi ini adalah pada perangkat yang digunakan. GoalRef menggunakan microchip yang ditanamkan di dalam bola serta beberapa medang magnet berfrekuensi rendah di tiang gawang. Apabila bola memang sudah masuk ke dalam gawang, maka perangkat ini akan mengirim sinyal berupa getaran ke jam tangan khusus yang dikenakan oleh wasit. Sementara itu Hawk-Eye menggunakan banyak sekali kamera kecil berresolusi tinggi yang mampu memproses data berupa arah pergerakan bola di lapangan. Sistem ini memang sedikit kompleks karena juga akan melibatkan beberapa komputer canggih untuk memproses datanya.
Konflik kemudian muncul. Manusia atau perangkat elektronik? Akankah perangkat elektronik menggantikan manusia untuk menyelesaikan konflik di lapangan? Michel Platini dengan tegas menyatakan penolakannya atas penggunaan teknologi garis gawang. Menurutnya, kesalahan yang dibuat oleh perangkat pertandingan adalah bagian dari sepak bola itu sendiri. Kesalahan-kesalahan seperti itulah yang membuat sepak bola menjadi olahraga milik manusia, bukan robot. Kesalahan-kesalahan perangkat pertandingan seperti itu justru membuat sepak bola menjadi lebih hidup. Bayangkan saja, jika tidak ada gol gaib Geoff Hurst, akankah Inggris pernah mengangkat trofi Jules Rimet? Kesalahan-kesalahan itu akan menghadirkan cerita yang kelak akan diabadikan dalam catatan sejarah umat manusia.
Platini benar. Teknologi garis gawang adalah pembunuhan pelan-pelan terhadap sisi kemanusiaan sepak bola. Luapan emosi manusia yang tertumpah saat manusia lain melakukan kesalahan akan tereduksi secara signifikan. Konflik di atas lapangan hijau yang melibatkan adrenalin dan emosi tidak selayaknya diselesaikan dengan bantuan teknologi dengan tingkat kesalahan minimum semacam itu. Biarkanlah manusia (baca: asisten wasit tambahan) yang menjadi penentu di ajang yang melibatkan sesama manusia. Biarlah sepak bola menjadi milik manusia. Teknologi memang berguna, tetapi film-film fiksi ilmiah sudah sering mengingatkan kita bahwa teknologi yang tidak ditempatkan sesuai porsinya tidak akan pernah membawa kebaikan pada akhirnya. Mungkin akibatnya tidak akan sefatal di film-film tersebut, tetapi ada baiknya jika kita berjaga-jaga, dimulai dari hal yang paling dekat dengan kita: sepak bola.